Miqat (Waktu Atau Tempat Yang Ditentukan)
MIQAT (WAKTU ATAU TEMPAT YANG DITENTUKAN)
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Mawaqit bentuk jamak dari kata miqat, seperti kata mawa’id dan mi’ad. Miqat terbagi menjadi dua, yaitu miqat zamani (waktu) dan miqat makani (tempat).[1]
Miqat Zamani (Waktu)
Allah Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji...” [Al-Baqarah/2: 189]
Dan firman Allah Ta’ala:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi…” [Al-Baqarah/2: 197]
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata:
أَشْهُرُ الْحَجِّ شَوَّالٌ وَذُو الْقَعْدَةِ وَعَشْرٌ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ.
“Bulan-bulan haji ialah Syawwal, Dzul Qa’dah dan sepuluh hari dari bulan Dzul Hijjah.”
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata:
مِنَ السُّنَّةِ أَنْ لاَ يُحْرِمَ بِالْحَجِّ إِلاَّ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ.
“Termasuk Sunnah ialah tidak berihram untuk haji kecuali pada bulan-bulan haji.” [2]
Miqat Makani (Tempat)
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anuma, ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ ِلأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ، وَ ِلأَهْلِ الشَّامِ الْجُحْفَةَ، وَ ِلأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ، وَ ِلأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ، وَقَالَ: هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ، وَمَنْ كَانَ دُوْنَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ.
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menentukan miqat bagi penduduk Madinah, yaitu Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam, yaitu Juhfah, bagi penduduk Najd, yaitu Qarnul Manazil dan untuk penduduk Yaman, yaitu Yalamlam. Beliau mengatakan, ‘Semua itu adalah bagi penduduk kota-kota tersebut dan orang yang bukan penduduk kota-kota tersebut yang melewati kota-kota tersebut, yang ingin menunaikan ibadah haji dan umrah. Dan bagi orang yang lebih dekat dari kota-kota itu, maka ia memulai ihram dari tempatnya, sampai penduduk Makkah memulai ihram dari Makkah.”
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ ِلأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ عِرْقٍ.
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan miqat untuk penduduk ‘Iraq, yaitu Dzatu ‘Irq.”
Siapa yang hendak menuju Makkah untuk menunaikan haji tidak boleh melewati tempat-tempat tersebut sampai ia berihram.
Berihram sebelum (tempat-tempat tersebut) adalah makruh. Semua riwayat hadits mengenai anjuran untuk ihram sebelum miqat tidak shahih, bahkan terdapat riwayat yang berlawanan. Lihat perkataan mengenai cacatnya hadits-hadits tersebut dalam Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iifah (hal. 210-212).
Alangkah indahnya perkataan Imam Malik kepada orang yang hendak berihram sebelum Dzul Hulaifah, “Jangan engkau lakukan, karena Aku khawatir akan terjadi fitnah kepadamu.” Orang tersebut kemudian bertanya, “Fitnah apa yang bisa timbul dari hal tersebut? Ini hanya sekedar beberapa mil yang aku tambahkan.” Imam Malik menjawab, “Fitnah apa yang lebih besar dari pada engkau dinilai telah melampaui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu keutamaan dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalai dari hal tersebut? Sesungguhnya aku mendengar firman Allah:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“…Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” [An-Nuur/24: 63]
Melewati Miqat Tanpa Berihram
Barangsiapa yang melewati miqat tanpa berihram, sedangkan ia hendak menunaikan ibadah haji dan umrah, kemudian ia berihram setelah melewati miqat tersebut, maka ia telah berdosa karena melakukan hal tersebut. Dosa itu tidak akan terhapus darinya sampai ia kembali ke miqat dan berihram dari miqat tersebut, kemudian ia menyempurnakan seluruh manasik haji (amal ibadah hajinya). Apabila ia tidak kembali (ke miqat), manasiknya sah, namun ia berdosa dan tidak wajib baginya dam, dengan dasar hadits Shafwan bin Ya’la bahwasanya Ya’la pernah berkata kepada ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu, “Tunjukkan kepadaku bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika wahyu turun kepada beliau?” ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata:
فَبَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْجِعْرَانَةِ -وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ- جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ تَرَى فِيْ رَجُلٍ أَحْرَمَ بِعُمْرَةٍ وَهُوَ مُتَضَمِّخٌ بِطِيْبٍ؟ فَسَكَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَاعَةً، فَجَاءَهُ الْوَحْيُ، فَأَشَارَ عُمَرُ z إِلَى يَعْلَىٰ، فَجَاءَ يَعْلَىٰ -وَعَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَوْبٌ قَدْ أُظِلَّ بِهِ- فَأَدْخَلَ رَأْسَهُ، فَإِذَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحَمَّرُ الْوَجْهِ وَهُوَ يَغِطُّ، ثُمَّ سُرِّيَ عَنْهُ فَقَالَ: أَيْنَ الَّذِي سَأَلَ عَنِ الْعُمْرَةِ؟ فَأُتِيَ بِرَجُلٍ، فَقَالَ: اِغْسِلِ الطَّيِّبَ الَّذِي بِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، وَانْزِعْ عَنْكَ الْجُبَّةَ، وَاصْنَعْ فِي عُمْرَتِكَ كَمَا تَصْنَعُ فِيْ حَجَّتِكَ.
“Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Ji’ranah -bersama beliau beberapa Sahabat beliau- seorang laki-laki mendatangi beliau dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang ihram untuk umrah sedangkan ia berlumuran minyak wangi?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdiam sebentar, kemudian wahyu turun kepada beliau. ‘Umar memberi isyarat kepada Ya’la, Ya’la pun datang -pada saat itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpayung dengan selembar pakaian- dan memasukkan kepalanya. Tiba-tiba ia melihat wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerah sedangkan beliau mengeluarkan suara nafas, kemudian beliau pulih perlahan-lahan dan bertanya, ‘Mana orang yang bertanya tentang umrah tadi?’ Laki-laki itu pun dibawa (ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Cucilah minyak wangi yang ada padamu tiga kali, buka jubahmu dan kerjakanlah umrahmu sebagaimana engkau mengerjakan hajimu.’” [3]
Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa barangsiapa yang menyelisihi, atau mengerjakan satu di antara hal-hal yang terlarang ketika ihram tidak ada kewajiban baginya kecuali ia harus berhenti (meninggalkan) pekerjaan tersebut saja, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan laki-laki yang memakai jubah berlumuran minyak wangi wanita (dari jenis khuluq, sebagaimana dalam riwayat lain) kecuali membuka jubahnya dan mencuci minyak wangi tersebut. Beliau tidak memerintahkan menyembelih hewan kurban pengganti. Seandainya hal tersebut wajib niscaya beliau akan memerintahkannya karena tidak boleh mengakhirkan penjelasan pada waktu dibutuhkan dan di sini (penjelasan itu) dibutuhkan*.
Memulai Ihram Di Miqat
Apabila ia hendak berihram, memilih haji qiran dan telah membawa hewan sembelihan, maka ia mengucapkan:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ بِحَحَّةٍ وَعُمْرَةٍ.
“Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah dengan berniat haji dan umrah.”
Apabila ia belum membawa hewan sembelihan (haji tamattu’ dan inilah yang lebih utama), ia harus berihram dengan umrah saja, maka ia mengucapkan:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ بِعُمْرَةٍ.
“Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah dengan berniat umrah.”
Apabila ia mengucapkan haji saja hendaknya ia membatalkannya dan menjadikannya umrah [4]. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seluruh Sahabatnya supaya bertahallul dari ihram mereka dan menjadikan thawaf dan sa’i mereka menjadi umrah, kecuali orang yang telah membawa hewan sembelihan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh, kemudian beliau marah kepada orang-orang yang tidak segera melaksanakan perintahnya dan beliau menegaskan hal tersebut dengan sabdanya, “Umrah masuk ke dalam bagian haji sampai hari Kiamat.” Ini juga merupakan nash yang menunjukkan bahwa umrah telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari haji.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لَوِ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ لَمْ أَسُقِ الْهَدْيَ.
“Seandainya aku mengetahui apa yang aku ketahui sekarang niscaya aku tidak akan membawa hewan sembelihan.”
Ini bukan hanya sekedar ungkapan perasaan beliau dengan hanya sekedar (mengungkapkan) keinginan yang terlewatkan oleh beliau karena beliau telah berihram untuk haji qiran. Akan tetapi ini adalah ungkapan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang menyatakan) bahwa haji tamattu’ lebih utama dari haji qiran.
Setiap orang yang menunaikan ibadah haji harus menggabungkan antara haji dan umrah, entah umrahnya dilakukan terlebih dahulu karena ia belum membawa hewan sembelihan dan inilah haji tamattu’ -atau ‘umrahnya bersamaan dengan haji karena ia membawa hewan korban, dan inilah haji qiran-. Entah yang mana saja yang ia kerjakan, maka ia telah mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun tamattu’ lebih utama dari pada qiran, sebagaimana yang telah kami jelaskan.
Selanjutnya kita harus mengetahui bahwa seseorang yang mengerjakan haji ifrad atau qiran yang tidak membawa hewan sembelihan walaupun wajib bagi mereka bertahallul dari ihramnya apabila mereka thawaf dan sa’i. Mereka kadang tidak menjumpai waktu yang cukup untuk bertahallul dari ihramnya, kemudian memulai manasik haji sebelum waktu wukuf di ‘Arafah berakhir. Oleh karena itu, orang yang berihram untuk haji ifrad dan qiran yang tidak membawa hewan kurban boleh tetap berihram tidak bertahallul dari ihramnya kecuali setelah melempar jumrah ‘Aqabah pada hari an-nahr (10 Dzul Hijjah) jika waktu untuk bertahallul dan berihram kembali untuk haji tidak cukup.
Contohnya, orang yang sampai di Makkah pada malam hari kesembilan, ia takut ketinggalan wukuf di ‘Arafah karena waktu yang sempit dan dekatnya waktu terbit fajar. Orang seperti ini hendaknya segera pergi ke ‘Arafah agar tidak ketinggalan rukun yang jika ia kehilangan hal ini, maka ia akan kehilangan haji seluruhnya, rukun tersebut adalah wukuf di ‘Arafah. Haji ifrad boleh dan disyari’atkan dilaksanakan dalam kondisi yang sempit sekali. Apabila seseorang melakukan haji ifrad dan meninggalkan haji tamattu’ karena lebih mengutamakan haji ifrad, maka ia telah berdosa, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para Sahabatnya agar menjadikan haji mereka umrah. Namun haji orang tersebut tetap sah*.
Bolehnya Seorang Yang Berihram Mensyaratkan Tahallul Jika Ia Sakit Dan Lain-Lain
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk menemui Dhuba’ah binti Zubair dan bertanya, ‘Engkau hendak berhaji?’ Ia menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak mendapati diriku kecuali dalam keadaan sakit-sakitan.’ Beliau bersabda kepadanya, ‘Pergilah haji dan buatlah syarat lalu katakanlah.
اَللَّهُمَّ مَحِلِّيْ حَيْثُ حَبَسْتَنِي.
‘Ya Allah, dimana aku tertahan di situlah tempat aku bertahallul.’’” [5]
Barangsiapa yang bersyarat dengan hal ini, maka kapan saja ia tertahan (tidak bisa melanjutkan) karena suatu penyakit atau ada musuh atau yang lainnya, ia boleh bertahallul dan ia tidak wajib membayar dam.
Barangsiapa yang tidak mensyaratkan apa-apa, jika ia tertahan (tidak bisa melanjutkan ibadahnya), maka ia wajib membayar dam, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ
“… Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat…” [Al-Baqarah/2: 196]
Hewan sembelihan tidak boleh selain hewan ternak: unta, sapi (kerbau), dan kambing. Apabila mudah baginya, maka kambing sudah mencukupi, unta dan sapi lebih mencukupi lagi. Jika ia tidak mendapatkan kemudahan hendaknya ia berpuasa sepuluh hari, diqiyaskan pada orang yang berhaji Tamattu’ apabila ia tidak mendapatkan hewan kurban.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Fiqhus Sunnah (I/549)
[2]. Sanadnya shahih:[Mukhtashar Shahiih al-Bukhari 311 hal 372], Shahiih al-Bukhari (III/319) disertai komentar.
[3]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (III/393, no. 1536), Shahiih Muslim (II/836, no. 1180), Sunan Abi Dawud (V/265, no. 1802, 1803, 1804), Sunan an-Nasa-i (V/142).
* Irsyaadus Saarii, asy-Syaikh Muhammad Ibrahim Syaqrah.
[4]. Manaasikul Hajj wal ‘Umrah, Syaikh al-Albani.
* Irsyaadus Saarii, asy-Syaikh Muhammad Ibrahim Syaqrah.
[5]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/132, no. 5089), Shahiih Muslim (II/867, no. 1207), Sunan an-Nasa-i (V/168).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1314-miqat-waktu-atau-tempat-yang-ditentukan.html